Hapir tujuh puluh dua tahun Indonesia dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Hiruk-pikuk, pahit-manis kehidupan masyarakat mewarnai negeri ini. Jika diibaratkan sebagai usia manusia, tujuh puluh tahun merupakan masa dimana seseorang akan menuai hasil dari kerja kerasnya. Masa tidak terlalu sibuk dengan perkara dunia, cukup menikmati jerih payah saat muda. Namun bagaimana dengan bangsa kita? Hingaa saat ini, Indonesia masih menyisakan belenggu kemiskinan, masih berada pada kubangan keterbelakangan, hingga dilabeli sebagai negara korup. Kemiskinan, keterbelakangan, dan citra negara korup ibarat paket lengkap yang cukup untuk mendeskripsikan keterpurukan Indonesia. Ketiga hal tersebut bukan lagi masalah lokal, melainkan sebuah fenomena nasional yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan merupakan aspek yang melulu disandingkan dengan keterpurukan negeri ini. Rendahnya kualitas pendidikan, masih belum imbangnya penyebaran tenaga pendidik, akses pendidikan yang belum merata, dan sarana serta infrastuktur yang belum memadai terutama terlihat pada daerah 3T (Terpencil, Terluar, dan Tertinggal), hingga kini masih dipercaya sebagai indikator dari mencuatnya keterpurukan di negeri katulistiwa ini.

Tentang kualitas pendidikan misalnya, berdasarkan assesment internasional seperti Programme International for Student Assesment (PISA) dan Trends in Mathematic and Science Study (TIMMS) (2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015) posisi siswa Indonesia selalu jeblok. Dalam penelitian lain, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah, tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru Indonesia berada di urutan terendah (urutan ke-12 dari 12 negara di Asia). Bahkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya mencapai angka 4,3.

Selain itu, arah pendidikan dewasa ini seperti sudah menjadi komoditas atau barang dagangan. Bagaimana tidak, institusi pendidikan (sekolah) berpijak pada selera pasar tak ubahnya seperti pabrik pencetak mesin-mesin manusia, siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan difokuskan pada perolehan hasil tanpa memperhatikan proses, menjadikan peserta didik menjadi insan-insan yang berorientasi pada nilai dan uang. Saya jadi teringat video yang sempat viral di Indonesia. Video berdurasi kurang dari enam menit tersebut menampilkan adegan Prince EA yang menggugat sistem pendidikan. Videonya masih terabadikan pada laman ini:  https://youtu.be/t6vKxXR6kw4 
 

Walaupun kita tidak bisa menutup mata, bahwa kerja keras pendidik di Indonesia selalu bisa melahirkan kampiun-kampiun olimpiade Internasional. Sebut saja Tim Indonesaia pada International Biology Olympias (IBO) 2017 di Inggris yang mendulang prestasi gemilang dengan memboyong 1 medali emas, 2 medali perak, dan 1 medali perunggu. Atau pada perhelatan International Physics Olympiad (IPO) 2017, dengan raihan 2 medali emas dan 3 medali perak. Kita juga tidak bisa lupa dengan sosok-sosok luar biasa, produk pendidikan Indonesia yang telah membawa harum nama Indonesia di kancah dunia. Ingat saja, BJ. Habibie yang melejit berkat inovasinya pada teknologi pesawat, Sri Mulyani Indrawati yang pernah menjabat sebagi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Dynand Fariz designer asal Jember yang mendunia, Rudi Hartono melalui bulutangkis, dan yang lainnya.

Bagaimanapun, ada kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan prduk pendidikan dengan sektor kenegaraan maupun aspek sosial kemasyarakatan. Fenomena yang mengemuka pada kehidupan hampir sebagian besar wilayah 3T menunjukkan indikasi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Kondisi tersebut tentu dapat mengakibatkan rendahnya karakter kebangsaan dan akhirnya berdampak pada kesetiaan dan loyalitas terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sinilah pendidikan perlu mendapat perhatian serius secara kolektif.

Mengutip perkataan Nelson Mandela bahwa “education is the most powerful weapon which you can use tochange the world”.  Kalimat tersebut secara gamblang mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan di sebuah negara bahkan dunia. Semakin baik kualitas pendidikan di sebuah negara akan semakin mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Artinya, untuk mengatasi masalah pendidikan, diperlukan parisipasi semua kalangan. Tidak berhenti pada usaha pemerintah atau aktor-aktor pendidikan.
Diberdayakan oleh Blogger.