Ekologi dan Kependudukan

/
0 Comments
Oleh:
Ahmad Hamdani


Salah satu isu penting yang dihadapi manusia sejak awal kehidupannya hingga menjadi isu global saat ini adalah isu lingkungan hidup (environment). Kesadaran tentang perlunya harmoni dengan lingkungan kini menjadi perhatian banyak kalangan. Munculnya pelbagai permasalahan lingkungan, baik lokal, regional, maupun global dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Perubahan iklim akibat global warming, misalnya, menyebabkan bumi tidak lagi seimbang. Hal tersebut kemudian berdampak pada tidak dapat diprediksinya sesuatu musim. Di belahan bumi yang lain curah hujan begitu tinggi hingga mengakibatkan banjir dan erosi, sementara di belahan lainnya terjadi kekeringan yang berkepanjangan.
Begitupun dengan Indonesia, tujuh puluh tahun sudah negeri ini memproklamasikan diri merdeka, tapi problematika lingkungan tetap saja mengemuka. Berdasarkan data dari Rencana Strategis 2015-2019 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, disebutkan bahwa Indonesia terus mengalami peningkatan pencemaran udara, penurunan kualitas air, masalah hutan dan lahan, hingga ancaman punahnya keanekaragaman hayati. Pelbagai gejala tersebut kemudian menderivat menjadi bencana nasional, seperti banjir di Bangka Belitung di awal tahun 2016, banjir Jakarta tahun 2015, kekeringan di beberapa daerah di Pulau Jawa tahun 2015, kebakaran hutan di Riau tahun 2015, hingga deforestasi dan degradasi hutan yang selalu terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Seolah tidak berkesudahan, Wisnu Aji Prasetyo (2015: 3), mengungkapkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.582 bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2015.
Banyaknya problematika lingkungan yang terjadi secara dominan dan signifikan tersebut, apabila dilihat secara seksama, sebenarnya berakar pada perilaku eksploitatif dan konsumtif manusia yang berparadigma antroposentris dengan menempatkan manusia sebagai centre of the universe. Senada dengan hal ini, dalam menganalisa penyebab krisis lingkungan global, Fritjof Capra berpendapat bahwa krisis tersebut merupakan akibat dari worldview dan keserakahan manusia terhadap alam, baik keserakahan dikarenakan kemiskinan, kebodohan, atau keserakahan untuk menghimpun kekayaan yang banyak (Abdul Quddus, 2012: 132).
Isu lonjakan penduduk sering kali menjadi tema besar dalam perbincangan tentang krisis lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Keterkaitan keseimbangan lingkungan dan kelestarian terhadap peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hal inilah yang sebenarnya menjadi poin dalam menyandarkan masalah lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk telah memberikan dampak nyata bahwa kebutuhan untuk sandang, pangan, dan papan akan ikut meningkat serta menuntut tambahan sarana dan prasarana untuk melayani keperluan masyarakat. Walaupun lingkungan menyediakan berbagai jenis sumberdaya alam, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati, yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, tetapi alam memiliki daya dukung lingkungan yang terbatas. Oleh sebab itu, kita harus meninggalkan paradigma terlalu menekankan aspek materi-positivistik, untuk menunju paradigma pengetahuan yang berwawasan lingkungan.
Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan ini akan menyoroti, bagaimana problematika lingkungan saat ini? Bagaimanakah seharusnya menyikapi masalah ekologi dengan kependudukan? Semoga, dari tulisan ini bisa menjadi ‘oase’ dalam memberikan semangat menjaga ekologi dan memberikan manfaat bagi pembaca.

Keterkaitan Ekologi dan Kependudukan: Analisis Permasalahan



Ekologi merupakan ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup, atau biasa didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya (Karden, 2009: 4). Menariknya, semenjak pertama kali ekologi diperkenalkan, ilmu ini kurang menarik perhatian para ilmuan dikarenakan dianggap sebagai ilmu murni yang terlalu general dan kurang bermanfaat. Namun, setelah terjadi krisis lingkungan dan dilaksanakan Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972, barulah ekologi menarik perhatian semua pihak, baik ilmuan, politikus, terlebih kaum agamawan.
Sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an masalah lingkungan mendapat perhatian serius, tidak saja dari kalangan ilmuan, tetapi juga politisi maupun masyarakat umum (Saifullah, 2007: 1). Namun, perbincangan tentang problematika lingkungan seolah tidak ada hentinya. Bumi semakin panas. Ini bukan judul film, tetapi gejala nyata yang dirasakan dunia saat ini. Betapa tidak! Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi yang di abad lalu meningkat 0,75ºC, dalam 50 tahun terakhir ini naiknya berlipat ganda. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC—dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC— kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca (Said, 2011: 2).
Membahas ekologi dan kependudukan tidak bisa secara parsial karena merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan. Keterkaitan antara ekologi dan kependudukan seringkali dihubungkan dengan kebutuhan ekonomi, hal ini diterangkan oleh Syakur (2008: 44-45), bahwa setidaknya ada dua bentuk tekanan kuat yang dirasakan menghimpit masyarakat dunia sedang berkembang. Pertama, bersifat eksternal, yakni himpitan yang datang dari negara-negara industri maju yang hendak mempertahankan dominasi dan supremasi kekuatan ekonomi dan tingkat standar hidup yang selama ini telah mereka nikmati. Kedua, bersifat internal, yakni himpitan yang datang dari dalam negeri sendiri. Himpitan yang kedua ini muncul dari tuntutan para penguasa dan pemerintah masing-masing negara berkembang yang bermaksud meningkatkan taraf perekonomian rakyat dengan cara meniru pola dan tata cara yang pernah dilakukan oleh negara-negara industri, khususnya menyangkut eksploitasi sumber alam.
Namun ironisnya, penyempitan wacana lingkungan dalam ekologi terapan dewasa ini melahirkan suatu kenyataan, bahwa titik fokus kajian problem lingkungan selalu didasarkan pada nilai untung bagi kepentingan manusia, bukan nilai untung bagi lingkungan itu sendiri, atau keuntungan pahala yang didapat dari Tuhan. Akibatnya, problem lingkungan yang tidak memberi keuntungan bagi manusia akan diterlantarkan, diacuhkan, bahkan akan dikesampingkan. Dengan demikian, ekologi akan memunculkan wajah arogan, bukan ekologi santun yang utuh yang berperikemakhlukan. Kondisi ini lah yang pemicu terjadinya pelbagai problematika lingkungan di bumi tercinta.

Menggagas Solusi

“Pedulikah kita pada lingkungan hidup?” adalah sebuah pertanyaan reflektif yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita. Lingkungan adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terusik. Lebih lanjut, Takdir (2014: 3), mengungkapkan dampak dari terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).
Begitupun dengan Indonesia, menurut Badan Pusat Statistika (BPS), hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat, yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035 (BPS, 2013: 23). Kondisi ini tentu akan  memberi dampak yang sangat luas, termasuk pada kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang dipastikan akan meningkat. Kebutuhan yang terus meningkat pada akhirnya akan  menyebabka penggunaa sumberday alam   sulit dikendalikan, pemanfaatan alayang berorientasi pada keuntungan pribadi pun akan sukar dihindarkan. Hal tersebut akan berakibat pada terganggunya keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian alam.

                                

Berangkat dari kondisi di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari dan memberikan manfaat berkelanjutan. Pertama, menata kembali sistem dan pendekatan program Keluarga Berencana (KB) nasional. Program KB harus lebih intensif dan makin meluas dengan menekankan penyadaran pada masyarakat. Misalnya di Belitung Timur, warung kopi yang disulap menjadi Pusat Informasi Pelangi KB pria. Setiap minggunya diadakan penyuluhan, berbagi pengalaman dan bincang-bincang ringan seputar KB khususnya vasektomi kepada bapak-bapak pelanggan warung kopi. Situasi ini menunjukan hasil yang menggembirakan. Pencapaian peserta baru vasektomi pun melonjak tajam di Belitung Timur, karena informasi yang jelas mengenai vasektomi dapat dipahami dengan baik dan diberikan dengan cara yang santai sambil ngopi-ngopi.
       Kedua, melalui sektor pendidikan. Membahananya isu dunia tentang kerusakan lingkungan tentu tidak bisa disikapi biasa-bisa saja. Diperlukan usaha yang luar biasa untuk bisa mentamengi dunia dari kerusakan lingkungan, salah satunya masuk melalui pendekatan pendidikan. Misalnya, melalui intergrasi nilai pada mata pelajaran yang ada di sekolah, seperti menjadi mata pelajaran, bab, atau sub bab khusus. Sehingga, melalui pendidika telah disiapkan insan yang diharapkan melek terhadap isu-isu lingkungan.



        

          Ketiga, melalui pendekatan integratif kelembagaan. Ketika dua cara di atas sudah di tempuh, perlu dilakukan penguatan secara mendasar. Pendekatan integratif kelembagaan di sini menemukan tempatnya. Sebagai isu global, kerusakan lingkungan tidak bisa jika hanya di selesaikan secara perseorangan, namun harus didukung oleh kebijakan-kebijakan mengikat dari pihak-pihak terkait, seperti lembaga pemerintahan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pemerintah Daerah dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah membandrol kantung pastik Rp200,00 di minimarket. Selain itu, program Jum’at bersih yang diadakan beberapa kelurahan di Kabupaten Serang patut dijadikan contoh. Hal ini senada dengan semangat dari nawa cita Jokowi-JK untuk rakyat Indonesia, yaitu akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
Keempat, memberdayana potensi besar kaum muda Indonesia. Menurut BPS 2009, Indonesia memiliki jumlah remaja yang cukup besar, yaitu sekitar 55% dari jumlah penduduk Indonesia. Potensi ini harus diarahkan agar remaja bisa terlibaaktif dalam menjaga  kelestarian lingkunganMulai dari memberikan pemahaman untuk menjaga lingkungan, kemudian memvisualisasikannya melalui kegiatan konkret. Misalnya, budaya membuang sampah pada tempatnya, kegiatan-kegiatan kreatif seperti daur ulang sampah dan menjadi penggerak roda organisasi yang bervisi pada pelestarian lingkungan, hingga menyuarakan pentingnya lingkungan pada forum-forum nasional atau internasional.
        Ketika empat cara di atas bisa direalisasikan dengan baik, maka ekologi dan kependudukan menjadi dua hal yang tidak hanya merupakan kesatuan utuh, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan. Semoga!


Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika lingkungan dewasa ini perlu diatasi dengan baik. Munculnya gagasan ekologi menjadi angin segar di tengah problematika lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Keterkaitan antara kependudukan dan lingkungan menjadi tanda bahwa semakain baik kualitas penduduk dalam memahami lingkungan, akan memberikan solusi nyata untuk permasalahan yang ada. Pembahasan tentang keduanya sejatinya tidak hanya sekadar membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan, tetapi yang terpenting adalah dalam pengertian menerapkan.
Kesadaran bahwa problematika lingkungan tidak semata-mata masalah yang bersifat sekuler, tetapi berakar dari pemahaman penduduk terhadap lingkungan merupakan poin penting yang menuntut kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bekerja secara berdampingan. Sehingga pada akhirnya, lingkungan bumi dapat memberikan manfaat berkelanjutan. Semoga!


Referensi
A.  Sumber Buku
Proyeksi Penduduk Indonesia Indonesia Population Projection 2010-2035. 2013.  Jakarta: BPS.
Rahmadi, Takdir. 2014. Hukum Lingkungan di Indoneisa. Cet. Ke-4. Jakarta: Rajawali Press.
Rencana Strategis Kementrian Lingkungan Hidup. 2015. Jakarta: KLHK.
Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan: Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati.Malang: UIN Malang Press.

B.  Sumber Jurnal dan Surat Kabar
Abdul Quddus. 2012. “Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan”, dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember).
Prasetyo, Wisnu Aji. 2015. “Longsor, Banjir, dan Puting Beliung Ancam 2016”. Surat Kabar Republika, 27 Desember 2015.
Said Tuhuleley. 2011. “Ekoteologi Pertanian: Suatu Pemikiran Awal”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Transformasi Teologi dan Reaktualisasi Etos Kerja IslamSebagai Respons terhadap Pergeseran Peta Geoekonomi, Geopolitik, dan Geobudaya Globalke Cina, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Kampus UMY.

Syakur Sf, Muhammad. 2008. “Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Volume 4 Nomor 1.


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.