Hapir tujuh puluh dua tahun Indonesia dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Hiruk-pikuk, pahit-manis kehidupan masyarakat mewarnai negeri ini. Jika diibaratkan sebagai usia manusia, tujuh puluh tahun merupakan masa dimana seseorang akan menuai hasil dari kerja kerasnya. Masa tidak terlalu sibuk dengan perkara dunia, cukup menikmati jerih payah saat muda. Namun bagaimana dengan bangsa kita? Hingaa saat ini, Indonesia masih menyisakan belenggu kemiskinan, masih berada pada kubangan keterbelakangan, hingga dilabeli sebagai negara korup. Kemiskinan, keterbelakangan, dan citra negara korup ibarat paket lengkap yang cukup untuk mendeskripsikan keterpurukan Indonesia. Ketiga hal tersebut bukan lagi masalah lokal, melainkan sebuah fenomena nasional yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan merupakan aspek yang melulu disandingkan dengan keterpurukan negeri ini. Rendahnya kualitas pendidikan, masih belum imbangnya penyebaran tenaga pendidik, akses pendidikan yang belum merata, dan sarana serta infrastuktur yang belum memadai terutama terlihat pada daerah 3T (Terpencil, Terluar, dan Tertinggal), hingga kini masih dipercaya sebagai indikator dari mencuatnya keterpurukan di negeri katulistiwa ini.

Tentang kualitas pendidikan misalnya, berdasarkan assesment internasional seperti Programme International for Student Assesment (PISA) dan Trends in Mathematic and Science Study (TIMMS) (2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015) posisi siswa Indonesia selalu jeblok. Dalam penelitian lain, kualitas guru di Indonesia juga tergolong rendah, tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya. Berdasarkan penelitian World Bank (2012) kualitas guru Indonesia berada di urutan terendah (urutan ke-12 dari 12 negara di Asia). Bahkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya mencapai angka 4,3.

Selain itu, arah pendidikan dewasa ini seperti sudah menjadi komoditas atau barang dagangan. Bagaimana tidak, institusi pendidikan (sekolah) berpijak pada selera pasar tak ubahnya seperti pabrik pencetak mesin-mesin manusia, siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan difokuskan pada perolehan hasil tanpa memperhatikan proses, menjadikan peserta didik menjadi insan-insan yang berorientasi pada nilai dan uang. Saya jadi teringat video yang sempat viral di Indonesia. Video berdurasi kurang dari enam menit tersebut menampilkan adegan Prince EA yang menggugat sistem pendidikan. Videonya masih terabadikan pada laman ini:  https://youtu.be/t6vKxXR6kw4 
 

Walaupun kita tidak bisa menutup mata, bahwa kerja keras pendidik di Indonesia selalu bisa melahirkan kampiun-kampiun olimpiade Internasional. Sebut saja Tim Indonesaia pada International Biology Olympias (IBO) 2017 di Inggris yang mendulang prestasi gemilang dengan memboyong 1 medali emas, 2 medali perak, dan 1 medali perunggu. Atau pada perhelatan International Physics Olympiad (IPO) 2017, dengan raihan 2 medali emas dan 3 medali perak. Kita juga tidak bisa lupa dengan sosok-sosok luar biasa, produk pendidikan Indonesia yang telah membawa harum nama Indonesia di kancah dunia. Ingat saja, BJ. Habibie yang melejit berkat inovasinya pada teknologi pesawat, Sri Mulyani Indrawati yang pernah menjabat sebagi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Dynand Fariz designer asal Jember yang mendunia, Rudi Hartono melalui bulutangkis, dan yang lainnya.

Bagaimanapun, ada kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan prduk pendidikan dengan sektor kenegaraan maupun aspek sosial kemasyarakatan. Fenomena yang mengemuka pada kehidupan hampir sebagian besar wilayah 3T menunjukkan indikasi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Kondisi tersebut tentu dapat mengakibatkan rendahnya karakter kebangsaan dan akhirnya berdampak pada kesetiaan dan loyalitas terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sinilah pendidikan perlu mendapat perhatian serius secara kolektif.

Mengutip perkataan Nelson Mandela bahwa “education is the most powerful weapon which you can use tochange the world”.  Kalimat tersebut secara gamblang mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan di sebuah negara bahkan dunia. Semakin baik kualitas pendidikan di sebuah negara akan semakin mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Artinya, untuk mengatasi masalah pendidikan, diperlukan parisipasi semua kalangan. Tidak berhenti pada usaha pemerintah atau aktor-aktor pendidikan.
Oleh:

Ahmad Hamdani


Ini tentang Indonesia. Sebuah negeri yang tersusun atas 17.000 lebih pulau, membentang dari Sabang sampai Merauke. Negeri di mana orang-orang semestinya dapat hidup nyaman di dalamnya. Mereka semestinya merasa bahagia, tentram, dan damai. Tuhan telah menganugerahkan segala potensi luar biasa bagi negeri ini. Berada pada garis katulistiwa dan ditempatkan oleh dunia sebagai negara Mega Biodiversity kedua setelah Brazil mencirikan negeri ini memilikii kekayaan alam yang luar biasa. Tanah yang subur dan kaya unsur hara, didukung dengan iklim tropis dan sinar matahari sepanjang tahun, menjadikan hampir sebagian besar tanaman di dunia mampu tumbuh subur di negeri ini. Sekitar 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) membentang indah, menyebarkan manfaat bagi kehidupan bangsa di negeri ini.
Hutan dan DAS adalah dua komponen alam yang melimpah di Indonesia. Hutan yang tehampar luas hingga menjadi salah satu paru-paru dunia yang sangat penting bagi kehidupan warga bumi. DAS yang multifungsi siap memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia, membentang indah membelah daratan. Hutan dan DAS adalah kekayaan Indonesia yang tidak ternilai. Dari sini sebagian besar bangsa Indonesia menitipkan kehidupan, dan karena inilah Indonesia bisa di kenal. Oleh karenanya, kekayaan ini perlu dikelola dengan baik guna mendatangkan manfaat yang dapat dirasakan bersama. Kekayaan ini harus dijaga dengan teliti sehingga generasi mendatang bisa menikmati. Sayangnya sampai sekarang, hal tersebut sepertinya belum begitu dipahami oleh bangsa ini.

Akhir-akhir ini misalnya, bangsa Indonesia seolah-olah hanya dihadapkan dengan gerakan radikal dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Bangsa ini seolah-olah hanya berbicara tentang Eno, korban kekerasan seksual dan Reklamasi Teluk Jakarta. Juga bangsa ini seolah-olah hanya menghadapi dua persoalan, yakni reshuffle kabinet Jokowi-JK dan korupsi. Sementara hijaunya alam Indonesia kian hari kian menyusut akibat pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir seolah diabaikan. Sekitar 80% ikan hias yang ada di dunia berasal dari Indonesia, tapi fakta yang ada adalah pasar hias dunia dikendalikan oleh Singapura dan Malaysia. DAS mengalami kerusakan sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan, pertambahan jumlah penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan seolah dibiarkan. Padahal keduanya memiliki nilai guna yang sangat besar bagi kehidupan. Kita seolah-olah lupa, ketika eksistensi hutan dan DAS terganggu dampaknya akan menyebar pada semua aspek kehidupan bak virus yang dapat menimbulkan bencana. 



Pemanfaatan alam yang melebihi ambang batas dan tidak terencana dalam konsep keterpaduan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang bisa menjadi penyebab terjadinya bencana. Banjir di beberapa daerah, asap tebal akibat terbakarnya hutan Riau dan Kalimantan, krisis air bersih, dan rusaknya wilayah DAS misalnya, merupakan contoh bahwa hal tersebut tidak saja merugikan materi dan menguras energi, tetapi juga mengorbankan jiwa manusia. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup? Hal ini sudah menjadi bukti, bahwa budaya cinta lingkungan masih belum bisa kita wujudkan secara nyata, sehingga hal inilah yang menjadi tantangan besar bangsa kita.

Pentingnya Hutan dan DAS 
Hutan dan DAS merupakan komponen alam yang penting. Keberadaannya yang melimpah di Indonesia memberikan manfaat yang besar tidak hanya bagi bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Bagaimana tidak, hutan yang tehampar menghijau di bumi pertiwi ini adalah paru-parunya dunia yang sangat penting bagi kehidupan. DAS yang membentang indah membelah daratan pun memberikan manfaat besar dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat disekitarnya. 
Menurut Spurr (1973), hutan merupakan sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya yang pada kerapatan dan luas tertentu mampu menciptakan  iklim setempat serta keadaan ekologis berbeda dengan di luarnya. Keberadaan hutan telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan, hal ini tercermin dari fungsi hutan yang dikemukakan Suparmoko (1997) di antaranya adalah mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi; melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik; memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, dan taman wisata, serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata; serta merupakan salah satu unsur strategi pembangunan nasional.
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa fungsi hutan sangatlah luar biasa. Hal tersebut akan memberikan manfaat yang maksmal hanya apabila hutan didayagunakan sebagaimana mestinya. Banjir dan tanah kering tidak akan menjadi ancaman yang mengetirkan bila hutan dijaga dengan baik. Karena ketika hutan memiliki pohon-pohon yang rimbun, hutan pun dapat menyerap air ketika hujan datang dan menyimpannya dalam tanah di celah-celah perakaran, kemudian melepaskannya secara perlahan melalui DAS. Hutan dapat mengontrol debit air pada sungai sehingga pada saat musim hujan tidak meluap dan pada saat musim kemarau tidak kering.
Setelah hutan, ialah DAS yang merupakan komponen alam yang juga penting. Menurut Pakpahan (1991), Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, berupa punggung-punggung bukit, dimana semua air hujan yang jatuh di dalam akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tersebut, atau merupakan satuan hidrologi yang mengambarkan dan menggunakan satuan fisik biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Istilah DAS mungkin masih belum banyak dikenal oleh masyarat Indonesia, oleh karenanya seringkali terabaikan. Akan tetapi seperti halnya hutan, DAS pun memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan, seperti: mengalirkan air, menyangga kejadian puncak hujan, melepas air secara bertahap, memelihara kualitas air, dan  mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Sehingga, keberadaannya perlu dikawal bersama guna memberikan manfaat sebagaimana mestinya.

Haruskah Kita Diam?
Merupakan sebuah keniscayaan, Indonesia memiliki salah satu hutan tropis terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Hutan yang hijau dan terhampar luas ini telah memberikan manfaat berlipat ganda, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Ironisnya, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian di tahun 1990-an dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktik kegiatan kehutanan yang tidak lestari. Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia yang berasal dari penebangan hutan yang berlebihan. Meningkatan degradasi hutan Indonesia semakin memperparah kondisi tersebut. Belum pula kembali pada kondisi semula, data (dari www.ppid.dephut.go.id), mewartakann bahwa saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan 1,08 juta ha per tahun. Deforestasi terjadi baik secara terencana maupun tidak direncanakan.



        Hilangnya hutan yang tidak direncanakan yang terjadi pada tahun 1990-an akibat adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan kayu untuk industri perkayuan dengan kapasitas hutan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta laju deforestasi hutan Indonesia yang mencapai angka 1 juta ha per tahun saat ini, menjadi sebuah tantangan besar. Karena bila tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin hutan produksi Indonesia akan lenyap. Keseimbangan alam akan terganggu. Sebagian besar bangsa Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari hutan terancam kehidupannya. Lebih luas, hal tersebut akan mengakibatkan global warming semakin memuncak dan kehidupan masyarakat dunia pun akan terusik. 

Belum selesai dengan hutan, kita disuguhi kenyataan bahwa jumlah DAS kritis meningkat setiap tahun. Menurut Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Rizaldi Boer (dalam: www.republika.co.id), Indonesia memiliki sekira 470 DAS dan jumlah yang kritis meningkat dua DAS setiap tahun. Degradasi ini sudah terjadi sejak 1970-an. Kebanyakan degradasi DAS disebabkan penggunaan lahan untuk pertanian ataupun penggunaan lain, seperti permukiman dan pertambangan. Hal ini perlu menjadi perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat secara luas untuk menjaga DAS, karena DAS merupakan faktor kunci untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Terdegradasinya DAS akan mengakibatkan persentase minimum dan maksimum debit air terganggu. Kondisi debit maksimum saat curah hujan tinggi akan mengakibatkan banjir di wilayah hilir.


Melihat kondisi tersebut, haruskah kita diam?

Budaya Cinta Lingkungan Sejak Dini sebagai Jawaban
Kerusakan hutan dan DAS menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak; pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi dan lainnya. Penanganan tersebut juga harus didukung dengan metode dan pelaksanaan yang tepat pula. Kementerian Kehutanan telah menetapkan dan menjalankan program-program yang dibuat untuk mengatasi meluasnya masalah hutan dan DAS, seperti: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pemberantasan illegal logging, membangun hutan rakyat, konservasi DAS, dan pendidikan lingkungan hidup. Namun kenapa laju deforestasi hutan Indonesia selalu mengalami kenaikan? Lalu, kenapa pula degradasi DAS semakin menghawatirkan? Hal ini karena minimnya kesadaran masyarakat sekitar dan masyarakat pengguna lahan hutan dan DAS untuk berperan aktif, bersama-sama menjaga serta mengelola hutan dan DAS dengan baik.
Sebagaimana kita ketahui, aspek yang paling penting dalam penyelesaian suatu masalah adalah menata kondisi dalam terlebih dahulu baru kemudian kondisi luar. Ketika kondisi dalam sudah benar, maka kondisi luar akan mudah diperbaiki dan dijaga. Sama halnya dengan masalah hutan dan DAS. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata pola pikir dan memberikan kesadaran masyarakat sekitar serta masyarakat pengguna hutan dan DAS. Ketika pola pikir dan kesadaran akan pentingnya alam sudah terbentuk, maka segala program pemerintah bisa terealisasi dengan baik. Menyikapi hal tersebut, kiranya budaya cinta lingkungan sejak dini menjadi pilihan mutlak.
Budaya cinta lingkungan sejak dini sangat penting untuk ditanamkan pada setiap orang. Budaya cinta lingkungan merupakan podasi dasar dan bentuk penguatan terhadap program-program pelestaraian yang sudah atau tengah digulirkan. Penerapan yang dilakukan sejak dini bertujuan untuk menciptakan kebiasaan sehat sehingga manfaat sumberdaya alam bisa maksimal, berkelanjutan, dan dapat dirasakan generasi mendatang.
Kita ketahui, usia dini merupakan usia yang tepat untuk menerapkan prinsip hidup. Selain karena pada usia ini seseorang mudah menerima sesuatu, juga karena di usia ini seseorang mudah untuk dibentuk karakternya. Ketika budaya cinta lingkungan sudah dimulai sejak dini dan menjadi prinsip hidup, maka dipastikan hal tersebut akan terbawa sampai mati bahkan dimungkinkan akan diseberluaskan kepada orang-orang disekitarnya. Semakin banyak orang yang mempunyai budaya cinta akan lingkungan, maka semakin besar peluang alam terjaga dengan baik.

Memulai budaya cinta lingkungan sebenarnya tidak selamanya memerlukan dana yang besar, karena pada prinsipnya budaya ini bisa dimulai dari yang sangat sederhana, seperti: tidak membuang sampah sembarangan, hemat menggunakan air, gotong royong melakukan reboisasi, dan bijak menggunakan kertas. Adapun dalam skala besar, menanamkan budaya cinta lingkungan bisa dilakukan dengan kerjasama semua pihak terkait. Untuk menangani ancaman dari sampah plastik misalnya, program Gerakan Indonesia Peduli Sampah dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) disokong dengan penguatan melalui peraturan daerah (Perda) dan kerjasama dengan industri-industri perdagangan, melalui bandrol plastik Rp200,00 di mini market. Selain itu kegiatan-kegiatan preventif seperti, gerakan Jumat Bersih, tanam tiga pohon untuk menebang satu pohon, dan aktivitas-aktivitas konservasi alam, bia terus digalakan pada masyarakat.



Kesimpulannya, dengan memperkuat budaya cinta diharapkan masalah Hutan dan DAS dapat terselesaikan dengan baik dan alam bisa ikut terjaga kelestariannya. Hal ini sama artinya dengan memberi jaminan kepada generasi mendatang untuk menikmati alam dengan senyum mengembang. 

Kunjungi juga http://bkkbn.go.id/kependudukan 


Referensi
George Polya. 1957. How to Solve It. New Jersey: Princeton University Press.
Spurr, Stephen H., 1973. Forest ecology. New York: Ronald Press Co.
M., Suparmoko, 1997. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Edisi Ketiga, Yogya: BPFE UGM
Pakpahan, Agus. 1991. Kerangka Analisis Kebijaksanaan Pengembangan DAS bagian hulu. Dalam Pasandaran (Ed.) Irigasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Rizaldi Boer. “Daerah Aliran Sungai Makin Kritis”. http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/06/27/n7tluq10-daerah-aliran-sungai-makin-kritis (diakses pada 12 Juni 2016 pukul 12:26 WIB).

http://ppid.dephut.go.id/pidato_kemenhut/browse/4 (diakses pada 12 Juni 2016 pukul 12:27 WIB).
Oleh:
Ahmad Hamdani


Salah satu isu penting yang dihadapi manusia sejak awal kehidupannya hingga menjadi isu global saat ini adalah isu lingkungan hidup (environment). Kesadaran tentang perlunya harmoni dengan lingkungan kini menjadi perhatian banyak kalangan. Munculnya pelbagai permasalahan lingkungan, baik lokal, regional, maupun global dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Perubahan iklim akibat global warming, misalnya, menyebabkan bumi tidak lagi seimbang. Hal tersebut kemudian berdampak pada tidak dapat diprediksinya sesuatu musim. Di belahan bumi yang lain curah hujan begitu tinggi hingga mengakibatkan banjir dan erosi, sementara di belahan lainnya terjadi kekeringan yang berkepanjangan.
Begitupun dengan Indonesia, tujuh puluh tahun sudah negeri ini memproklamasikan diri merdeka, tapi problematika lingkungan tetap saja mengemuka. Berdasarkan data dari Rencana Strategis 2015-2019 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, disebutkan bahwa Indonesia terus mengalami peningkatan pencemaran udara, penurunan kualitas air, masalah hutan dan lahan, hingga ancaman punahnya keanekaragaman hayati. Pelbagai gejala tersebut kemudian menderivat menjadi bencana nasional, seperti banjir di Bangka Belitung di awal tahun 2016, banjir Jakarta tahun 2015, kekeringan di beberapa daerah di Pulau Jawa tahun 2015, kebakaran hutan di Riau tahun 2015, hingga deforestasi dan degradasi hutan yang selalu terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Seolah tidak berkesudahan, Wisnu Aji Prasetyo (2015: 3), mengungkapkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.582 bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2015.
Banyaknya problematika lingkungan yang terjadi secara dominan dan signifikan tersebut, apabila dilihat secara seksama, sebenarnya berakar pada perilaku eksploitatif dan konsumtif manusia yang berparadigma antroposentris dengan menempatkan manusia sebagai centre of the universe. Senada dengan hal ini, dalam menganalisa penyebab krisis lingkungan global, Fritjof Capra berpendapat bahwa krisis tersebut merupakan akibat dari worldview dan keserakahan manusia terhadap alam, baik keserakahan dikarenakan kemiskinan, kebodohan, atau keserakahan untuk menghimpun kekayaan yang banyak (Abdul Quddus, 2012: 132).
Isu lonjakan penduduk sering kali menjadi tema besar dalam perbincangan tentang krisis lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Keterkaitan keseimbangan lingkungan dan kelestarian terhadap peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hal inilah yang sebenarnya menjadi poin dalam menyandarkan masalah lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk telah memberikan dampak nyata bahwa kebutuhan untuk sandang, pangan, dan papan akan ikut meningkat serta menuntut tambahan sarana dan prasarana untuk melayani keperluan masyarakat. Walaupun lingkungan menyediakan berbagai jenis sumberdaya alam, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati, yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui, tetapi alam memiliki daya dukung lingkungan yang terbatas. Oleh sebab itu, kita harus meninggalkan paradigma terlalu menekankan aspek materi-positivistik, untuk menunju paradigma pengetahuan yang berwawasan lingkungan.
Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan ini akan menyoroti, bagaimana problematika lingkungan saat ini? Bagaimanakah seharusnya menyikapi masalah ekologi dengan kependudukan? Semoga, dari tulisan ini bisa menjadi ‘oase’ dalam memberikan semangat menjaga ekologi dan memberikan manfaat bagi pembaca.

Keterkaitan Ekologi dan Kependudukan: Analisis Permasalahan



Ekologi merupakan ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup, atau biasa didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya (Karden, 2009: 4). Menariknya, semenjak pertama kali ekologi diperkenalkan, ilmu ini kurang menarik perhatian para ilmuan dikarenakan dianggap sebagai ilmu murni yang terlalu general dan kurang bermanfaat. Namun, setelah terjadi krisis lingkungan dan dilaksanakan Konferensi Internasional tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972, barulah ekologi menarik perhatian semua pihak, baik ilmuan, politikus, terlebih kaum agamawan.
Sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an masalah lingkungan mendapat perhatian serius, tidak saja dari kalangan ilmuan, tetapi juga politisi maupun masyarakat umum (Saifullah, 2007: 1). Namun, perbincangan tentang problematika lingkungan seolah tidak ada hentinya. Bumi semakin panas. Ini bukan judul film, tetapi gejala nyata yang dirasakan dunia saat ini. Betapa tidak! Suhu rata-rata udara di permukaan Bumi yang di abad lalu meningkat 0,75ºC, dalam 50 tahun terakhir ini naiknya berlipat ganda. Badan PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), memproyeksikan bahwa pada tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung akan meningkat dari 1,8ºC menjadi 4ºC—dan skenario terburuk bisa mencapai 6,4ºC— kecuali dunia mengambil tindakan untuk membatas emisi gas rumah kaca (Said, 2011: 2).
Membahas ekologi dan kependudukan tidak bisa secara parsial karena merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan. Keterkaitan antara ekologi dan kependudukan seringkali dihubungkan dengan kebutuhan ekonomi, hal ini diterangkan oleh Syakur (2008: 44-45), bahwa setidaknya ada dua bentuk tekanan kuat yang dirasakan menghimpit masyarakat dunia sedang berkembang. Pertama, bersifat eksternal, yakni himpitan yang datang dari negara-negara industri maju yang hendak mempertahankan dominasi dan supremasi kekuatan ekonomi dan tingkat standar hidup yang selama ini telah mereka nikmati. Kedua, bersifat internal, yakni himpitan yang datang dari dalam negeri sendiri. Himpitan yang kedua ini muncul dari tuntutan para penguasa dan pemerintah masing-masing negara berkembang yang bermaksud meningkatkan taraf perekonomian rakyat dengan cara meniru pola dan tata cara yang pernah dilakukan oleh negara-negara industri, khususnya menyangkut eksploitasi sumber alam.
Namun ironisnya, penyempitan wacana lingkungan dalam ekologi terapan dewasa ini melahirkan suatu kenyataan, bahwa titik fokus kajian problem lingkungan selalu didasarkan pada nilai untung bagi kepentingan manusia, bukan nilai untung bagi lingkungan itu sendiri, atau keuntungan pahala yang didapat dari Tuhan. Akibatnya, problem lingkungan yang tidak memberi keuntungan bagi manusia akan diterlantarkan, diacuhkan, bahkan akan dikesampingkan. Dengan demikian, ekologi akan memunculkan wajah arogan, bukan ekologi santun yang utuh yang berperikemakhlukan. Kondisi ini lah yang pemicu terjadinya pelbagai problematika lingkungan di bumi tercinta.

Menggagas Solusi

“Pedulikah kita pada lingkungan hidup?” adalah sebuah pertanyaan reflektif yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita. Lingkungan adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terusik. Lebih lanjut, Takdir (2014: 3), mengungkapkan dampak dari terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).
Begitupun dengan Indonesia, menurut Badan Pusat Statistika (BPS), hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat, yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035 (BPS, 2013: 23). Kondisi ini tentu akan  memberi dampak yang sangat luas, termasuk pada kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang dipastikan akan meningkat. Kebutuhan yang terus meningkat pada akhirnya akan  menyebabka penggunaa sumberday alam   sulit dikendalikan, pemanfaatan alayang berorientasi pada keuntungan pribadi pun akan sukar dihindarkan. Hal tersebut akan berakibat pada terganggunya keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian alam.

                                

Berangkat dari kondisi di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari dan memberikan manfaat berkelanjutan. Pertama, menata kembali sistem dan pendekatan program Keluarga Berencana (KB) nasional. Program KB harus lebih intensif dan makin meluas dengan menekankan penyadaran pada masyarakat. Misalnya di Belitung Timur, warung kopi yang disulap menjadi Pusat Informasi Pelangi KB pria. Setiap minggunya diadakan penyuluhan, berbagi pengalaman dan bincang-bincang ringan seputar KB khususnya vasektomi kepada bapak-bapak pelanggan warung kopi. Situasi ini menunjukan hasil yang menggembirakan. Pencapaian peserta baru vasektomi pun melonjak tajam di Belitung Timur, karena informasi yang jelas mengenai vasektomi dapat dipahami dengan baik dan diberikan dengan cara yang santai sambil ngopi-ngopi.
       Kedua, melalui sektor pendidikan. Membahananya isu dunia tentang kerusakan lingkungan tentu tidak bisa disikapi biasa-bisa saja. Diperlukan usaha yang luar biasa untuk bisa mentamengi dunia dari kerusakan lingkungan, salah satunya masuk melalui pendekatan pendidikan. Misalnya, melalui intergrasi nilai pada mata pelajaran yang ada di sekolah, seperti menjadi mata pelajaran, bab, atau sub bab khusus. Sehingga, melalui pendidika telah disiapkan insan yang diharapkan melek terhadap isu-isu lingkungan.



        

          Ketiga, melalui pendekatan integratif kelembagaan. Ketika dua cara di atas sudah di tempuh, perlu dilakukan penguatan secara mendasar. Pendekatan integratif kelembagaan di sini menemukan tempatnya. Sebagai isu global, kerusakan lingkungan tidak bisa jika hanya di selesaikan secara perseorangan, namun harus didukung oleh kebijakan-kebijakan mengikat dari pihak-pihak terkait, seperti lembaga pemerintahan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pemerintah Daerah dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah membandrol kantung pastik Rp200,00 di minimarket. Selain itu, program Jum’at bersih yang diadakan beberapa kelurahan di Kabupaten Serang patut dijadikan contoh. Hal ini senada dengan semangat dari nawa cita Jokowi-JK untuk rakyat Indonesia, yaitu akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
Keempat, memberdayana potensi besar kaum muda Indonesia. Menurut BPS 2009, Indonesia memiliki jumlah remaja yang cukup besar, yaitu sekitar 55% dari jumlah penduduk Indonesia. Potensi ini harus diarahkan agar remaja bisa terlibaaktif dalam menjaga  kelestarian lingkunganMulai dari memberikan pemahaman untuk menjaga lingkungan, kemudian memvisualisasikannya melalui kegiatan konkret. Misalnya, budaya membuang sampah pada tempatnya, kegiatan-kegiatan kreatif seperti daur ulang sampah dan menjadi penggerak roda organisasi yang bervisi pada pelestarian lingkungan, hingga menyuarakan pentingnya lingkungan pada forum-forum nasional atau internasional.
        Ketika empat cara di atas bisa direalisasikan dengan baik, maka ekologi dan kependudukan menjadi dua hal yang tidak hanya merupakan kesatuan utuh, tetapi juga dapat memberikan kebermanfaatan. Semoga!


Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa problematika lingkungan dewasa ini perlu diatasi dengan baik. Munculnya gagasan ekologi menjadi angin segar di tengah problematika lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Keterkaitan antara kependudukan dan lingkungan menjadi tanda bahwa semakain baik kualitas penduduk dalam memahami lingkungan, akan memberikan solusi nyata untuk permasalahan yang ada. Pembahasan tentang keduanya sejatinya tidak hanya sekadar membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan, tetapi yang terpenting adalah dalam pengertian menerapkan.
Kesadaran bahwa problematika lingkungan tidak semata-mata masalah yang bersifat sekuler, tetapi berakar dari pemahaman penduduk terhadap lingkungan merupakan poin penting yang menuntut kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bekerja secara berdampingan. Sehingga pada akhirnya, lingkungan bumi dapat memberikan manfaat berkelanjutan. Semoga!


Referensi
A.  Sumber Buku
Proyeksi Penduduk Indonesia Indonesia Population Projection 2010-2035. 2013.  Jakarta: BPS.
Rahmadi, Takdir. 2014. Hukum Lingkungan di Indoneisa. Cet. Ke-4. Jakarta: Rajawali Press.
Rencana Strategis Kementrian Lingkungan Hidup. 2015. Jakarta: KLHK.
Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan: Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati.Malang: UIN Malang Press.

B.  Sumber Jurnal dan Surat Kabar
Abdul Quddus. 2012. “Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan”, dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember).
Prasetyo, Wisnu Aji. 2015. “Longsor, Banjir, dan Puting Beliung Ancam 2016”. Surat Kabar Republika, 27 Desember 2015.
Said Tuhuleley. 2011. “Ekoteologi Pertanian: Suatu Pemikiran Awal”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Transformasi Teologi dan Reaktualisasi Etos Kerja IslamSebagai Respons terhadap Pergeseran Peta Geoekonomi, Geopolitik, dan Geobudaya Globalke Cina, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Kampus UMY.

Syakur Sf, Muhammad. 2008. “Perspektif Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Islam”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Volume 4 Nomor 1.
Diberdayakan oleh Blogger.