Kerelawanan untuk Kependudukan

/
0 Comments
Oleh:
Ahmad Hamdani




Sebuah Pendahuluan
Tujuh puluh tahun sudah Indonesia dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Hiruk pikuk, pahit manis kehidupan masyarakat mewarnai negeri ini. Jika diibaratkan sebagai usia manusia, tujuh puluh tahun merupakan masa dimana seseorang akan menuai hasil dari kerja kerasnya. Masa dimana segala kesusahan sudah terlewati dan berganti dengan kenikmatan. Namun, bagaimana dengan bangsa kita? Hingga saat ini, Indonesia masih menyisakan beragam masalah kependudukan. Belenggu kemiskinan, masih berada pada kubangan keterbelakangan, hingga dilabeli sebagai negara korup. Kemiskinan, keterbelakangan, dan citra negara korup ibarat paket lengkap yang cukup untuk mendeskripsikan keterpurukan Indonesia. Ketiga hal tersebut sejatinya bukan lagi masalah lokal, melainkan sudah menjadi fenomena nasional yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Begitu banyak teori yang menyebutkan penduduk sebagai salah satu faktor strategis dalam mendukung pembangunan nasional. Teori-teori tersebut sungguh telah mencerminkan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Posisi penduduk sebagai subyek adalah dalam rangka menjadi mesin penggerak pembangunan, oleh karena itu penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya. Adapun posisi penduduk sebagai obyek, artinya pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama dan memperhatikan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif.



Disadari ataupun tidak, pelbagai permasalahan kependudukan yang mengemuka di Indonesia erat kaitannya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan aspek yang selalu disandingkan dengan keterpurukan negeri ini. Rendahnya kualitas pendidikan, masih belum imbangnya penyebaran tenaga pendidik, dan terbelenggunya inovasi guru karena waktunya habis untuk mengajar saja terutama terlihat pada daerah 3T (Terpencil, Terluar, dan Tertinggal) hingga kini masih diyakini sebagai indikator dari mencuatnya masalah kependudukan di negeri khatulistiwa ini.
Ada kaitan yang sangat erat antara pendidikan dengan sektor kenegaraan maupun aspek sosial kemasyarakatan. Fenomena yang mengemuka pada kehidupan hampir sebagian besar wilayah 3T menunjukkan indikasi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Kondisi tersebut tentu dapat mengakibatkan rendahnya karakter kebangsaan, semakin kompleksnya masalah kependudukan dan akhirnya berdampak pada kesetiaan dan loyalitas terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, hal ini penting untuk mendapat perhatian serius kita bersama.
Mengutip perkataan Nelson Mandela bahwa “education is the most powerful weapon which you can use tochange the world”. Kalimat tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan di sebuah negara bahkan dunia. Semakin baik kualitas pendidikan di sebuah negara akan semakin mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di negara tersebut. Sehingga, untuk mengatasi masalah di atas, diperlukan partisipasi semua kalangan. Hal ini karena jika pengentasannya hanya diperankan oleh pemerintah saja, maka tidak akan berjalan secara optimal. Disinilah urgensi keterlibatan pemuda sebagai bagian dari masyarakat untuk bangsanya.
“Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”. Demikian ungkapan Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Ungkapan yang menasional ini bukan sekadar ocehan semata, namun penuh akan makna yang luar biasa. Kesadaran Bung Karno bahwa pemuda sebagai narasi besar sejarah kegemilangan peradaban dunia. Pemuda merupakan sosok karismatik dengan intelektualitas dan semangat yang membara menjadi modal sosial utama dalam rangka membangun dan memperkokoh kedaulatan suatu negara. Spirit inilah, yang harus tetap dijaga dan dibudayakan sebagai upaya menempatkan pemuda pada garda terdepan dalam memberikan perubahan, termasuk tentang permasalahan di atas, yaitu pendidikan.

Mencabut Akar Masalah Melalui Kerelawanan
Pendidikan dan kependudukan. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika ingin menyelesaikan masalah kependudukan maka kuncinya adalah pendidikan. Hal ini karena ketika manusia memiliki pengetahuan dan keterampilan, sejatinya hal tersebut bisa menjadi alat untuk keluar dari kubangan masalah kependudukan. Namun, belum banyak yang memahami, bahwa kedua hal tersbut hanya bisa didapat melalui proses pendidikan, baik formal maupun non formal.
Jika di lihat, sebenarnya permasalahan dalam dunia pendidikan terutama di daerah 3T telah lama menghiasi kabar pemberitaan di Indonesia. Sayangnya, keterbatasan pembiayaan dan berbagai peraturanyang ada seolah selalu dijadikan alasan untuk menunda pemecahan masalah krusial tersebut. Sebenarnya pemerintah sudah mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan setiap tahunnya sebanyak 20%. Tetapi permasalah kekurangan guru dibanyak sekolah di daerah pedalaman masih belum dapat diatasi oleh pemerintah.


Indonesia sebenarnya melalui Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) meluluskan setidaknya dua ratus ribuan calon guru setiap tahunnya. Jumlah tersebut merupakan angka yang sangat besar, tetapi mengapa masih banyak daerah pedalaman yang kekurangan guru khususnya guru SD?
Alasan teknis dan geografis sering kali disebut-sebut sebagai jawabannya, seperti listrik dan sinyal telepon kerap kali masih “absen”. Banyak para lulusan guru dari FKIP tidak ingin ditempatkan di daerah 3T. Tidak bisa di salahkan memang, karena sejatinya mengajar adalah sebuah panggilan jiwa. Sebuah produk pendidikan akan memiliki kualitas yang baik dan memberikan kesan mendalam kepada peserta didik apabila hal tersebut dilakukan dengan tulus dan penuh tanggung jawab. Namun, jika kita lihat dampak apabila hal tersebut tetap dibiarkan tentu kekurangan guru tidak dapat dihindari. Hal ini akan mengakibatkan kualitas pendidikan di daerah pedalaman semakin menurun dan terbelakang, yang secara langsung akan berdampak pada rumitnya masalah kependudukan. Selain itu distribusi guru yang tidak merata serta rendahnya kualitas para guru merupakan realita pendidikan yang ada di negeri ini. Oleh karena itu, gerakan kerelawanan merupakan salah satu solusi untuk mengisi kokosongan tersebut.
Dan Pemuda merupakan poros untuk menjalankannya!
Potensi pemuda yang sedemikian besar jika dipadukan dengan semangat kerelawanan tentulah akan menjadi sangat luar biasa. Perpaduan tersebut seperti sebuah kesempatan dalam keputusasaan, layaknya lentera dalam kegelapan, dan laksana mata air dalam kekeringan.
Walaupun mungkin bukan sebuah solusi terbaik, tetapi setidakanya kehadiran pemuda dengan semangat kerelawanan dalam dunia pendidikan bisa menjadi terobosan dalam dunia pendidikan. Setidaknya ada beberapa alasan yang melandasinya. Pertama,  daerah-daerah yang kekurangan guru bisa mendapatkan bantuan tenaga pendidikan yang memiliki semangat tinggi dan idealisme yang masih kokoh. Kedua, upaya memberikan terobosan dan membawa inovasi pembelajaran yang lebih kekinian, mengingat waktu yang dimiliki guru di perbatasan habis untuk mengajar banyak kelas. Ketiga, melalaui gerakan kerelawanan berarti pemuda tengah disiapkan untuk menjadi pemimpin yang tangguh.

Oleh karena itu, kerelawanan pemuda dalam dunia pendidikan diharapkan bisa menjadi gerbang peningkatan kualitas pendidikan pada daerah-daerah yang menjadi objek kerelawanan, sehingga masalah kependudukan bisa ikut terselesaikan. Semoga!


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.