Tujuh
puluh tahun sudah Indonesia dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Hiruk
pikuk, pahit manis kehidupan masyarakat mewarnai negeri ini. Jika diibaratkan
sebagai usia manusia, tujuh puluh tahun merupakan masa dimana seseorang akan
menuai hasil dari kerja kerasnya. Masa dimana segala kesusahan sudah terlewati
dan berganti dengan kenikmatan. Namun, bagaimana dengan bangsa kita? Hingga saat
ini, Indonesia masih menyisakan beragam masalah kependudukan. Belenggu
kemiskinan, masih berada pada kubangan keterbelakangan, hingga dilabeli sebagai
negara korup. Kemiskinan, keterbelakangan, dan citra negara korup ibarat paket
lengkap yang cukup untuk mendeskripsikan keterpurukan Indonesia. Ketiga hal
tersebut sejatinya bukan lagi masalah lokal, melainkan sudah menjadi fenomena
nasional yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Begitu banyak teori
yang menyebutkan penduduk sebagai salah satu faktor strategis dalam mendukung
pembangunan nasional. Teori-teori tersebut sungguh telah mencerminkan bahwa
penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Posisi penduduk sebagai subyek
adalah dalam rangka menjadi mesin penggerak pembangunan, oleh karena itu
penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya. Adapun posisi penduduk
sebagai obyek, artinya pembangunan harus dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan seksama dan memperhatikan
kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif.
Disadari ataupun tidak,
pelbagai permasalahan kependudukan yang mengemuka di Indonesia erat kaitannya
dengan pendidikan. Pendidikan merupakan aspek yang selalu disandingkan dengan
keterpurukan negeri ini. Rendahnya kualitas pendidikan, masih belum imbangnya
penyebaran tenaga pendidik, dan terbelenggunya inovasi guru karena waktunya
habis untuk mengajar saja terutama terlihat pada daerah 3T (Terpencil, Terluar,
dan Tertinggal) hingga kini masih diyakini sebagai indikator dari mencuatnya
masalah kependudukan di negeri khatulistiwa ini.
Ada kaitan yang sangat
erat antara pendidikan dengan sektor kenegaraan maupun aspek sosial
kemasyarakatan. Fenomena yang mengemuka pada kehidupan hampir sebagian besar
wilayah 3T menunjukkan indikasi ketimpangan kesejahteraan di Indonesia. Kondisi
tersebut tentu dapat mengakibatkan rendahnya karakter kebangsaan, semakin
kompleksnya masalah kependudukan dan akhirnya berdampak pada kesetiaan dan
loyalitas terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu,
hal ini penting untuk mendapat perhatian serius kita bersama.
Mengutip perkataan Nelson Mandela bahwa “education
is the most powerful weapon which you can use tochange the world”. Kalimat
tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan aspek penting
dalam pembangunan di sebuah negara bahkan dunia. Semakin baik kualitas pendidikan
di sebuah negara akan semakin mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di negara
tersebut. Sehingga, untuk mengatasi masalah di atas, diperlukan partisipasi
semua kalangan. Hal ini karena jika pengentasannya hanya diperankan oleh
pemerintah saja, maka tidak akan berjalan secara optimal. Disinilah urgensi keterlibatan
pemuda sebagai bagian dari masyarakat untuk bangsanya.
“Berikan
aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”.
Demikian ungkapan Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Ungkapan yang
menasional ini bukan sekadar ocehan semata, namun penuh akan makna yang
luar biasa. Kesadaran Bung Karno bahwa pemuda sebagai narasi besar sejarah
kegemilangan peradaban dunia. Pemuda merupakan sosok karismatik dengan
intelektualitas dan semangat yang membara menjadi modal sosial utama dalam
rangka membangun dan memperkokoh kedaulatan suatu negara. Spirit inilah, yang
harus tetap dijaga dan dibudayakan sebagai upaya menempatkan pemuda pada garda
terdepan dalam memberikan perubahan, termasuk tentang permasalahan di atas,
yaitu pendidikan.
Mencabut Akar Masalah
Melalui Kerelawanan
Pendidikan
dan kependudukan. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jika ingin menyelesaikan
masalah kependudukan maka kuncinya adalah pendidikan. Hal ini karena ketika
manusia memiliki pengetahuan dan keterampilan, sejatinya hal tersebut bisa menjadi
alat untuk keluar dari kubangan masalah kependudukan. Namun, belum banyak yang
memahami, bahwa kedua hal tersbut hanya bisa didapat melalui proses pendidikan,
baik formal maupun non formal.
Jika
di lihat, sebenarnya permasalahan dalam dunia pendidikan terutama di daerah 3T
telah lama menghiasi kabar pemberitaan di Indonesia. Sayangnya, keterbatasan
pembiayaan dan berbagai peraturanyang ada seolah selalu dijadikan alasan untuk
menunda pemecahan masalah krusial tersebut. Sebenarnya pemerintah sudah mengalokasikan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan setiap tahunnya
sebanyak 20%. Tetapi permasalah kekurangan guru dibanyak sekolah di daerah
pedalaman masih belum dapat diatasi oleh pemerintah.
Indonesia sebenarnya melalui Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) meluluskan setidaknya dua
ratus ribuan calon guru setiap tahunnya. Jumlah tersebut merupakan angka yang
sangat besar, tetapi mengapa masih banyak daerah pedalaman yang kekurangan guru
khususnya guru SD?
Alasan teknis dan geografis sering
kali disebut-sebut sebagai jawabannya, seperti listrik dan sinyal telepon kerap
kali masih “absen”. Banyak para lulusan guru dari FKIP tidak ingin ditempatkan
di daerah 3T. Tidak bisa di salahkan memang, karena sejatinya mengajar adalah
sebuah panggilan jiwa. Sebuah produk pendidikan akan memiliki kualitas yang
baik dan memberikan kesan mendalam kepada peserta didik apabila hal tersebut
dilakukan dengan tulus dan penuh tanggung jawab. Namun, jika kita lihat dampak apabila
hal tersebut tetap dibiarkan tentu kekurangan guru tidak dapat dihindari. Hal
ini akan mengakibatkan kualitas pendidikan di daerah pedalaman semakin menurun
dan terbelakang, yang secara langsung akan berdampak pada rumitnya masalah
kependudukan. Selain itu distribusi guru yang tidak merata serta rendahnya
kualitas para guru merupakan realita pendidikan yang ada di negeri ini. Oleh
karena itu, gerakan kerelawanan merupakan salah satu solusi untuk mengisi
kokosongan tersebut.
Dan
Pemuda merupakan poros untuk menjalankannya!
Potensi
pemuda yang sedemikian besar jika dipadukan dengan semangat kerelawanan
tentulah akan menjadi sangat luar biasa. Perpaduan tersebut seperti sebuah kesempatan
dalam keputusasaan, layaknya lentera dalam kegelapan, dan laksana mata air
dalam kekeringan.
Walaupun
mungkin bukan sebuah solusi terbaik, tetapi setidakanya kehadiran pemuda
dengan semangat kerelawanan dalam dunia pendidikan bisa menjadi terobosan dalam
dunia pendidikan. Setidaknya ada beberapa alasan yang melandasinya. Pertama, daerah-daerah yang kekurangan guru bisa
mendapatkan bantuan tenaga pendidikan yang memiliki semangat tinggi dan
idealisme yang masih kokoh. Kedua, upaya
memberikan terobosan dan membawa inovasi pembelajaran yang lebih kekinian, mengingat
waktu yang dimiliki guru di perbatasan habis untuk mengajar banyak kelas. Ketiga, melalaui gerakan kerelawanan
berarti pemuda tengah disiapkan untuk menjadi pemimpin yang tangguh.
Oleh
karena itu, kerelawanan pemuda dalam dunia pendidikan diharapkan bisa menjadi
gerbang peningkatan kualitas pendidikan pada daerah-daerah yang menjadi objek
kerelawanan, sehingga masalah kependudukan bisa ikut terselesaikan. Semoga!
Morbi leo risus, porta ac consectetur ac, vestibulum at eros. Fusce dapibus, tellus ac cursus commodo, tortor mauris condimentum nibh, ut fermentum massa justo sit amet risus.