Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk cukup besar.
Berdasarkan Sensus Penduduktahun 2010, Indonesia memiliki 237,6
juta jiwa penduduk. Angka tersebut
berhasilmenempatkan Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar
keempat di dunia. Adalah kenyataan
yang tidak dapat ditolak, Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terdirilebih
dari 17.504 pulau besar dan kecil membentang dari Sabang sampai Merauke (Bedjo
Sujanto, 2007: 32).Kondisi tanah yang relatif subur dan sinar
matahari yang ada sepanjang tahun, menjadikan
tanaman padi dapat tumbuh subur di hampir semua wilayah di Indonesia. Sehingga, makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah beras. Oleh
karena itu istilah pangan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah beras.
Beras merupakan makanan pokok bagi hampir seluruh
masyarakat di Asia, termasuk Indonesia. Beras merupakan komoditas strategis, primadona dan utama
dalam mendukung pembangunan sektor ekonomi dan ketahanan pangan nasional, serta
menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian di masa mendatang. Hingga saat
ini, beras masih tetap menjadi sumber gizi dan energi yang utama bagi lebih dari
separuh penduduk Indonesia. Komoditi pertanian ini juga
menjadi sangat vital perannya bagi negara kita, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia bekerja pada sektor pertanian.
Namun ironisnya, Indonesia yang terkenal dengan
negara agraris ini ternyata juga memenuhi kebutuhan dan menjaga stabilitas
penyediaan pangan nasional dengan mengimpor dari negara lain, seperti Vietnam,
Thailand, India, dll.. Menurut pengamat pertanian, Gede Sedana dalam (www.tempo.co, 2015), kebijakan pemerintah yang masih
mempertahankan impor beras sangat merugikan petani dan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian
nasional.
Sejarah telah mencatat,
pada tahun 1967 Indonesia sempat mengalami krisis beras yang sangat hebat. Krisis
tersebut disebabkan oleh terbatasnya devisa negara serta musim kering yang
melanda Asia Tenggara membuat persediaan beras dunia menjadi turun drastis.
Beras importir sulit diperoleh sementara produksi dalam negeri tidak mampu
memenuhi kebutuhan (Leon A. Mears, dalam
Anne Booth. 1990: 39).Kondisi tersebut menggambarkan
secara nyata bahwa sebagai sebuah kebutuhan pokok, beras mempunyai arti dan
peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Sehingga terganggunya
ketahanan pangan dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi, gejolak sosial dan
politik. Ini artinya bahwa kebutuhan akan pangan harus dipenuhi sesuai dengan
hak asasinya.
Indonesia memang
sudah meratifikasi Konvensi HAM Ekosob (International Convention on
Economic, Social and Cultural Right-IESCR) yang memuat prinsip pangan
sebagai hak paling asasi melalui UU no. 11/2006. Hak pemenuhan kebutuhan pangan
bagi setiap manusia juga sudah jelas tercantum dalam “Rome Declaration on
World Food Security and World Food Summit Plan ofAction” pada1996, dimana Indonesia
ikut menandatanganinya. Bahkan dasar-dasar penerapan Hak Asasi Manusia telah
diadopsi dalam UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM, kemudian pemahaman tentang
kecukupan pangan dituangkan dalam Penjelasan UU No. 7/1996 tentang Pangan. Namun, kenyatanya hampir setiap tahun Indonesia tidak
luput dari bayang-bayang krisis beras.
Pengaruh Pertambahan Penduduk Terhadap Ketahanan Pangan
Pangan di Indonesia memiliki
nilai strategis dengan dimensi yang sangat luas dan komplek. Ketersediaan,
pemerataan distribusi serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, merupakan
isu sentral yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional. Kekurangan
pangan, dapat memicu munculnya gejolak sosial dan politik. Pengalaman tahun
1966 dan 1998 menunjukkan bahwa goncangan politik dapat berubah menjadi krisis
politik yang dahsyat karena harga pangan melonjak tinggi dalam waktu singkat,
dan debat publik selalu muncul apabila harga pangan melonjak atau turun secara
drastis. Masyarakat menghendaki pasokan dan harga pangan yang stabil, tersedia
sepanjang waktu, terdistribusi secara merata, serta harga yang terjangkau (Achmad, 2001: 78-79).
Persoalan
pangan merupakan persoalan yang sangat penting karena menyangkut hajat hidup
orang banyak. Kerawanan pangan bisa menyebabkan terjadinya kelaparan maupun
pergolakan politik. Soekarno (1952) dalam sebuah pidatonya saat peresmian
Gedung Fakultas Pertanian UI—sekarang IPB— mengungkapkan ”...mati hidup bangsa
kita di kemudian hari, oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai
soal persediaan makanan rakyat.” Hal ini membuktikan bahwa persoalan pangan
merupakan persoalan hidup matinya suatu bangsa.
Permasalahan utama dalam
mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini adalah permintaan terhadap
pangan lebih cepat daripada penyediaannya. Kondisi tersebut senada dengan Achmad (2004: 262),yang mengungkapkan bahwa ketahanan pangan ditentukan oleh produksi (supply)
dari dalam negeri dan konsumsi.
Permintaan yang meningkat cepat
merupakan resultan dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi,
peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Laju populasi penduduk
pada saat ini 1.49 % dan konsumsi beras tetap, yaitu 125.3 kg/kapita/tahun,
berarti pada tahun 2030 penduduk Indonesia mencapai 329.4 juta, membutuhkan
pangan sebesar 90.4 juta ton setara GKG, dengan asumsi pertumbuhan produksi
1.3%, maka Indonesia akan defisit pangan sebesar 4.2 juta ton (Poerwanto et al, 2012). Defisit ini
akan semakin meningkat dengan perubahan pola konsumsi sesuai dengan peningkatan
pendapatan. Sementara itu kapasitas penyediaan pangan semakin berkurang karena
konversi lahan, kompetisi dengan lahan untuk produksi bahan baku industri,
degradasi kesuburan lahan, stagnansi pertumbuhan produktifitas lahan dan tenaga
kerja pertanian.
Menurut Sutarto (2011),tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia
permasalahan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang kuat hampir
sama, yaitu meliputi beberapa hal: Pertama, ketersediaan yang semakin
langka; Kedua, keterjangkauan yang semakin sulit, baik secara fisik
maupun secara ekonomis; dan Ketiga, keamanan pangan (food safety)
yang semakin mengkhawatirkan karena semakin banyaknya permasalahan yang
berkaitan dengan keamanan pangan.
Dengan permasalahan yang ada, menimbulkan
kecenderungan situasi pangan yang semakin sulit diduga dan semakin tidak stabil
terutama di pasar internasional. Oleh karena itu, kebijakan pangan yang
komprehensif diperlukan untuk menjawab tantangan masa depan. Kebijakan tersebut
harus pula ditindaklanjuti dalam wujud implikasi kebijakan di masing-masing sektor
yang dilengkapi dengan implikasi nyata diberbagai kelembagaan yang relevan.
E-POTDI (Edukasi Potensial Lumbung Padi): Upaya
Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki areal
pesawahan yang ditanami pagi. Padi tersebut
merupakan media untuk memenuhi kebutuhan pangan minimal untuk daerah tersebut.
Potensi ini lebih lanjut bisa menjadi mesin pencetak uang atau dijadikan mata
pencaharian sehingga akan mendongkrak ekonomi daerah tersebut. Namun kenyataannya,
tidak banyak daerah di Indonesia mampu menjadi
lumbung padi nasional. Yang lebih memprihatinkan, hampir setiap tahun Indonesia dirundung masalah.Indonesia yang terkenal dengan negara agraris ini ternyata juga memenuhi
kebutuhan dan menjaga stabilitas penyediaan pangan nasional dengan mengimpor
dari negara lain, seperti Vietnam, Thailand, India, dll..
Minimnya pengetahuan petani padi tentang bagaimana menuai
panen produktif masih menjadi salah satu kendala di Indonesia. Kecintaan
generasi Indonesia saat ini terhadap potensi daerahnya, terutama lumbung padipun
menjadi momok yang menakutkan bagi Indonesia. Padahal mereka adalah tonggak
penerus harpan Indonesia. Ketidakpopuleran pekerja padi—petani— yang masih
dianggap pekerjaan kelas bawah menggrogoti mental generasi Indonesai saat ini.
Hal ini tentu menjadi kombinasi menakutkan bagi Indonesia, karena letak
keberhasilan ketahanan pangan nasional ada pada mereka.
Pemerintah
dalam hal ini Bulog sebagai lembaga parastatal yang merupakan pelaksana kebijakan
pemerintah di bidang pangan, tentu diharapkan mengambil tanggung jawab dari
kondisi tersebut di atas. Intensitas kebersamaan antara pemerintah dan
masyarakat harus ditingkatkan jika Indonesia memang serius memiliki komitmen
dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Langkah strategis yang sangat
mungkin untuk direalisasikan adalah dengan Edukasi
Potensial Lumbung Padi atau dapat disebut
E-POTDI. Langkah ini selain akan memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang kelumbungpadian, juga diharapkan memupuk nilai kecintaan
untuk mengembangkan potensi lumbung padi di daerah. Sehingga komitmen
pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional termasuk swasembada beras
bisa tercapai.
Akan
ada banyak pihak yang diuntungkan dari E-POTDI ini, terutama masyarakat dan
pemerintah. Seperti akan meningkatkan kompetensi petani, meningkatkan ekonomi
daerah, harga beras di pasar akan bisa dikendalikan, menyiapkan lumbung padi
berkualitas, serta kedepannya pemerintah tidak mesti mengimpor beras untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri yang artinya citra Indonesia di mata dunia juga akan
lebih baik.
Pengimplementasian
E-POTDIuntuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus dilakukakan
sejak dini. Adapun pengimplementasiannya,pemerintah
bisa bekerja sama dengan instansi terkait. Kegiatan yang bisa dilakukan
sebagai berikut:
1.Menambahkan
Edukasi Potensial Lumbung Padipada muatan lokal
Penerapan E-POTDIdi sekolah formal
mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah bertujuan untuk memperkenalkan pada
putera-puteri daerah mengenai potensi
lumbung padi di daerahnya masing-masing.
Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan serta motivasi untuk mengembangkan
daerahnya sendiri.
2.Mengadakan Penyuluhan E-POTDI Secara Berkala
Penyuluhan
E-POTDI
yang bersifat informal bertujuan untuk mengintenskan sharing information kepada petani.
Penyuluhan ini juga bisa dimaksimalkan kegiatannya sebagai monitoring, sehingga apa yang dicanangkan bisa terkontrol dengan
baik. Kegiatan penyuluhan ini akan lebih baik jika menggandeng pihak-pihak
kompeten lainnya, seperti Kementrian Pertanian, atau akademisi.
Ketika
masyarakat sudah mengetahui potensi dari areal
pesawahan yang ada, kemudian
di dorong untuk mampu mejadi lumbung padi, minimal bagi daerahnya sendiri dan
lebih lanjut scera nasional. Maka secara
secara langsung akan memberikan kemudahan kepada BULOG dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Sebuah
Penutup
Peranan pemerintah dalam
melaksanakan penugasan publik—pengadaan dalam negeri, penyaluran beras bersubsidi,
operasi stabilisasi harga, pengelolaan cadangan pangan pemerintah—telah
terbukti memberikan manfaat baik ekonomis maupun non-ekonomis. Namun untuk
sampai pada line ketahanan nasional, perannya masih harus
dioptimalisasikan. Pendidikan melalui inovasi E-POTDI tidak bisa dianggap
sederhana. Karena sampai saat ini, pendidikan masih dinilai paling tepat dalam
memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat.
E-POTDI hadir membawa harapan
untuk Indonesia lebih baik, apalagi dengan potensi lumbung padi Indonesia yang
sangat kaya. Tentu kondisi ini harus mampu digali sebaik mungkin agar
memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu
memberikan dukungan kelembagaan, kebijakan yang tepat di bidang pangan/perberasan,
agar persediaan pangan bisa tetap terjaga.
Referensi:
Booth, Anne. 1990. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Morbi leo risus, porta ac consectetur ac, vestibulum at eros. Fusce dapibus, tellus ac cursus commodo, tortor mauris condimentum nibh, ut fermentum massa justo sit amet risus.