Multikulturalisme di Pesantren sebagai Simbol Ke- Bhineka Tunggal Ika-an

/
0 Comments

Oleh:
Ahmad Hamdani

Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan  yang terdiri lebih dari 17.504 pulau besar dan kecil (Bedjo Sujanto, 2007: 32), membentang dari Sabang sampai Merauke. Jumlah penduduk 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk Indonesia 2010) berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia. Hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari budaya, bahasa, suku bangsaras, dan agama. Keragaman ini telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur sosial yang multikultural. Hal ini sesungguhnya telah disadari oleh para pendiri bangsa sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, untuk tetap menjaga kerukunan nasional, mereka menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah semboyan persatuan. Perbedaan tidak lagi dipahami sebagai alasan bagi adanya permusuhan, namun dijadikan modal untuk membngun bangsa dengan semangat persatuan.




          Indonesia yang multikultural, apabila tidak dikelola dan ditangani dengan tepat dan baik akan menjadi pemicserta penyulut konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Peristiwa Ambon dan Poso, misalnya, merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal yang telah menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar sesama masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi bahan ajaran bagi anak sekolah, tak pernah dipraktikkan dalam dunia nyata. Media masa yang tak henti-hentinya memberitakan konflik dan perselisihan, turut memperparah keadaan ini. Mengutip Muhammad Saifullah (www.okezone.com, akses 22 Agustus 2014), bahwa konflik sosial pada 2013    trennya    mengalami    kenaikan    signifikan    yaitu    23,7 persedibandingkan 2012. Sepanjang 2013 terjadi 153 konflik sosial di Indonesia. Hal tersebut sudah menjadi bukti, bahwa semboyan persatuan  Bhinneka Tunggal Ika masih belum bisa kita wujudkan secara nyata, sehingga hal ini menjadi tantangan besar bangsa kita.











Memahami Multikulturalisme

         Merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak, bahwa negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, bahasa, ras, dan agama. Hal ini menjadikan Indonesia yang multikultural. Sebagai sebuah konsep yang ramai dibicarakan setelah masa reformasi, multikulturalisme masih belum dipahami banyak orang, meski pemikiran yang menunjukan semangat yang sama dengan multikulturalisme sudah ditunjukan pada Sumpah Pemuda 1928. Oleh karenannya, pemahaman yang komprehensif mengenai multikulturalisme menjadi sangat dibutuhkan, mengingat realitas bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultural.
        Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), culture (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Choirul Mahfud, 2006: 75). Dari konsep multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing-masing kebudayaan penyusun suatu bangsa (Achmad Fedyani Saefuddin, 2006: 4). Kemunculan multikulturalisme disebut-sebut sebagai sebuah upaya untuk membangun kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan dan keberagaman. Namun pertanyaannya, bagaimana kita menjaga pemahaman bahwa multikulturalnya Indonesia bisa terangkum dalam sebuah persatuan?
          Sebagai jawabannya, konsep Bhineka Tunggal Ika harus dijadikan landasan bagi multikulturalnya bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan telah terbukti berhasil membawa Indonesia yang multikultura merdeka.   Nusantara ini disusun atas ribuan pulau dengan keragaman  suku  bangsa,  budaya,  bahasa,  ras,  dan  agama, namun  kita dipersatukan dalam Indonesia Raya. Semboyan yang mengandung arti walaupun  berbeda-beda  tatap  satu  jua ini,  telah  memberikan  jawaban yang pasti untuk pertanyaan diatas. Oleh karenanya harus benar-benar dihayati sampai mengerti dan teraplikasi. Ketika semboyan Bhinneka Tunggal  Ika  dan  konsep  multikulturalisme  sudah dipahami  dan dilaksanakan dengan baik, maka persatuan dan keharmonisan antar masyarakat Indonesia bisa terwujud secara nyata.


Multikulturalisme di Pesantren sebagai Simbol Ke-Bhineka

Tunggal Ika-an

         Term pesantren” secara etimologis berasal dari pe-santri-an yang berarti  tempat  santri;  asrama tempat  santri  belajar agama atau;  pondok. Dikatakan  pula,  pesantren  berasal  dari  kata  santri,  yaitu  seorang  yang belajar agama Islam (Haidar Putra Daulay, 2001: 7). Pesantren didefinisikan sebaga suatu   tempapendidika da pengajara yang   menekankan pelajaran agaman Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Mujamil Qomar, 2002: 2). Dari pendapat-pendapat tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan tempat dimana orang berkumpul untuk belajar agama Islam.
       Sebagai sebuah lembaga pendidikan keislaman tertua di Nusantara, ternyata pesantren memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang patut diapresiasi. Salah satu dari keunikan-keunikan tersebut adalah adanya kesadaran  multikultural  di  pesantrejauh  sebelum  wacana multikulturalisme berkembang. Misalnya saja, Wali Songo yang disebut- sebut sebagai founding fathers pesantren melakukan dakwah di tengah bangsa kita melalui pendekatan beraneka ragam: ekonomi, sosial, kebudayaan, dan politik.
         Multikulturalisme di pesantren secara umum dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, secara sosiologis. Pesantren sebagai sebuah komunitas sosial biasanya terdiri dari para santri dengan latar belakang yang multisuku, multibudaya, multietnik, multibahasa, dan multidialek. Hal ini menunjukkabahwa realitas  sosial  di pesantren  juga sangat  plural.  Walaupun  adanya perbedaan dan keberagaman, tetapi pesantren mampu menampakan sebuah keharmonisan. Seperti yang tercermin di Ma’had Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, diisi oleh ratusan mahasantri dari berbagai daerah di Indonesia dan mahasiswa luar negeri, namun tak pernah terlihat gejolak   untuk   berpecah-belah.   Mahasantr hidup   rukun   dan   saling membantu bagaikan saudara. Sistem asrama, mampu membangun kesadaran multikultural kepada para mahasantri tidak hanya dalam kerangka teoritis, tetapi langsung ditransformasikan secara nyata dalam kehidupan.
          Kedua, secara paradigmatis. Di dalam kerangka berpikir, pesantren telah menjunjung tinggi prinsip toleransi dan keterbukaan. Pesantren mengajarkan kepada anak didiknya untuk lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan. Di dalam pengajaran disiplin ilmu fiqih, misalnya, pesantren memberikan pemahaman  yang  multi-madzhab  terhadap  para santri.  Ada MadzhaSyafiiyah,  Hanafiyah,  Hanbaliyah,  dan  Malikiyah.  Bahkan, dalam satu payung madzhab pun masih banyak perbedaan-perbedaan pendapat, suatu hal yang dalam tradisi intelektual pesantren tak pernah memicu konflik dan permusuhan.
            Al-‘ilmu  bila  amalin  ka  as-syajari  bila  tsamarin  pengetahuan tanpa pengamalan seperti pohon tanpa buah, sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh pesantren menjadikan multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana  mati,  tetapi  harus  dipraktikkan  dalam  bentuk  nyata  agar  lebih berarti. Nilai-nilai multikulturalisme benar-benar dibumikan secara masif sehingga mengakar menjadi sebuah prinsip hidup. Masih ada sebongkah harapan dari pesantren untuk Indonesia yang lebih bijak menyikapi perbedaan. Pesantren, seperti disebutkan di muka, telah memberikan gambaran bagaimana keharmonisan itu tetap terjaga, walaupun perbedaan senantiasa ada. Kesuksesan pesantren dalam membangun kehidupan harmonis di tengah perbedaan, menunjukan bahwa multikulturalisme di pesantren simbol Bhineka Tunggal Ika yang tidak hanya dipahami tapi juga dijalani. Kita berharap apa yang ditunjukan oleh pesantren, bisa diwujudkan dalam skala yang lebih luas: negara-bangsa.





Daftar Referensi


Achmad Fedyani Saefuddin. 2006. Membumikan Multikulturalisme di Indonesia                          dalam  Jurnal                       Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI. Volume 2, Nomor 1.
Bedjo Sujanto. 2007. Cet. I.  Pemahaman Kembali Makna Bhineka Tunggal IKa                             Persaudaraan dalam Kemajemukan. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Daulay, Haidar Putra. 2001. Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah,          Yogyakarta: Tiara Wacana.
Choirul  Mahfud.  2006.  Pendidikan  Multikultural.  Yogyakarta  :  Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
             Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Muhammad                                                                                       Saifullah, http://news.okezone.com/read/2014/01/02/339/920558/waspada- konflik-sosial-sudah-telan-203-nyawa (diakses Jum’at, 22 Agustus 2014 pukul 20:11 WIB)


You may also like

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.